Bandung oh.. Bandung part I.

Gue kemarin melewatkan 5 hari 3 malam di bandung untuk urusan USM ITB yaitu pada tanggal 26 mei 2006 untuk mengembalikan formulir dan 5-8 juni 2006 untuk ikut test USM ITB.

Hari I (26 Mei 2006):

Gue nyampe di kota Bandung sekitar pukul 9 pagi dan langsung menuju area kampus ITB. Setelah tanya-tanya kepada orang jualan di sekitar kampus, ternyata pengembalian formulir di gedung ganesha, bersebelahan dengan ITB.

Setelah memberi informasi, lantas penjual tersebut menawarkan map merah, katanya kalau ga pake map merah, nanti sudah kedalam disuruh keluar lagi. Kita, orang Jakarta, pasti ga mau ambil resiko udah jauh-jauh ke Bandung dan disuruh balik lagi, jadi belilah 5000 untuk 2 map merah. Setelah itu, ada lagi yang nawarin buku ujian masuk USM. Nyokap langsung bilang udah punya, dan gue pun setuju untuk tidak membeli. Tapi dia bilang bahwa ini beda (sambil menunjukkan berbagai macam warna buku). Gue udah punya yang warna biru di rumah, dan sekarang nyokap beli yang warna putih. Dari 105 rb, ditawar jadi 40 rb (si ucrit dapet 30 rb). Abis itu, dateng lagi pedagang yang nawarin lem, kalo gak beli lem, ntar ga bisa nempel foto dll. Alhasil, habislah 55 ribu untuk pen, pensil, lem, buku dan 2 map merah.

Setelah melewati beberapa step, sampailah gue pada step yang cukup ‘amburadul’ dimana peserta memberikan berkas-berkas dokumen kepada pengawas untuk diperiksa. Ini ilustrasi gambarannya.

Jadi, setelah gue liat tulisan PMBP di sebelah kiri dan banyak orang yang duduk di sebelah kiri, ya gue langsung aja duduk mulai dari baris 1. Prosedurnya begini, peserta yang duduk di depan pengawas sudah selesai, kemudian salah satu peserta dari baris ke 8 maju ke depan. Hal ini sangatlah memicu adanya ‘aksi serobot-serobotan’.

Pertama-tama, barisan gue masih ada ‘tenggang rasa’ jadi yang maju duluan ya kasih duluan aja. Tapi lama-kelamaan, orang-orang dari belakang mulai nyerobot. Gampangnya, secara etika, setelah 5 orang dari 1 baris maju, baru 5 orang dari baris belakangnya menempati baris tersebut. Yet, kenyataan yang terjadi lain. Ada yang dari 1 e, lalu depannya keluar, langsung aja tuh orang taruh tasnya di 2e biar ga diserobot. Terus ga ada beberapa detik depannya keluar lagi dan dia langsung taruh tas di 3e. gue yang udah 10 menit duduk langsung kalah sama yang baru duduk. Wow.., tapi itu belum seberapa.
Ironis, kebanyakan dari mereka adalah kalangan menengah ke atas. Saya dapat simpulkan demikian karena SDPA (uang sumbangan) yang harus dibayar sebesar 45 jt. Jadi ya, bisa dibilang mereka orang middle to up. Tapi nyatanya? Apakah mereka diajarkan sopan santun oleh orang tua mereka supaya NGAK NYEROBOT?

Saat gue udah di bagian tengah-tengah, ada pengumuman bahwa yang pmbp, boleh aja di meja pemeriksa bertandakan fksrd dan sbm begitu juga sebaliknya. Langsung saja aksi serobot-serobotan tambah parah. Ada beberapa hal lucu tapi ngeselin. Ada 1 orang baru dateng (kebetulan pintu masuk langsung berhadapan dengan meja pemeriksa) dan langsung aja tuh orang duduk di depan meja pemeriksa yang kebetulan baru aja berdiri peserta yang di depan meja tersebut. Lantas saja pada ketawa, biarpun dalem ati tuh pasti kesel. Ada juga yang lagi ngobrol2 ketawa di 7 f, tiba-tiba diserobot peserta yang duduk di 6f untuk ngerebut tempat duduk di 8f. lucu juga.. Cuma ngeselin aja haha..

Akhirnya selesai juga berbelas-belas step yang melelahkan. Fuh.. untung cuma satu step yang serobot-serobotan. Tapi kok gue ngerasa ada yang ganjil yah? Oh iya, map merah dan lem. Di dalam ruangan tersebut lem tersedia, jadi yang kita butuhkan hanya pen dan pensil (itupun bisa minjem). Sedangkan map merah SAMA SEKALI TIDAK DIBUTUHKAN.

Memang tidak ada tulisan di formulir untuk membawa map merah. tp
saya bingung, kenapa panitia ITB sama sekali tidak ada reaksi terhadap pedagang-pedagang, atau yang pantas disebut penipu2 di depan gerbang. Reaksi ngasih tau jangan beli kek, atau kasih kertas pengumuman kek. Atau memang ITB sengaja / disuruh oleh preman setempat agar membiarkan para penipu itu berkeliaran? Jadi ada beberapa kemungkinan
1. ITB cuek, ga peduli.
2. ITB memang sengaja biar nambah penghasilan penduduk sekitar.
3. ITB takut ma preman-preman sekitar.
4. Orang-orang luar kota emank gampang kena tipu, termasuk gue, jadi buat pengalaman lah hitung2. lol

Gue pulang dari bandung sekitar jem 7 an. Ternyata gue baru nyadar bahwa tol bandung- Jakarta tidak terdapat lampu-lampu di pinggirnya. Hanya ada buletan-buletan kecil di pinggir jalan yang memantulkan sinar sinar mobil supaya mobil ga nyosor keluar jalur. Konsekuensinya? Mobil-mobil kebanyakan nyalain lampu jauh, dan yang terkena lampu jauh tersebut adalah mobil yang lagi melaju dari arah sebaliknya. Sehingga terkadang sangat silau dan susah untuk menyetir. Hal ini yang akan meningkatkan persentase kecelakaan.


*Pengetahuan di hari I dibeli dengan harga 55 ribu rupiah

Saran :
1. Mungkin di formulir ITB lebih baik ditulis “Jangan membeli barang-barang dari pedagang di sekitar ITB yang tidak terdapat diformulir”. Mungkin jumlah penipuan akan dapat ditekan jauh.

2. Untuk bagian yang antri, mengingat mental orang indo masih banyak yang suka nyerobot, lebih baik setiap peserta yang masuk ruangan diberi nomor, lalu dipanggil oleh pengawas. Memang lebih repot dan makan waktu lebih banyak sedikit. Tapi, ini adalah profesionalitas dan system management yang lebih baik daripada yang system ‘amburadul’ tersebut.

3. Dengan tidak adanya lampu harga tol memang dapat ditekan. Tapi toh, untuk keselamatan para pengguna tol, lebih baik dipasang lampu walaupun harga tol naik. Semua keputusan pasti ada konsekuensinya.

Tapi diantara kekurangannya, ITB menurut gue adalah salah satu universitas keren lho di Indonesia. Bayangkan gue kenalan sama orang dari Manado yang capek-capek dateng ke Bandung buat tes. Mereka udah abisin total 10 jt buat biaya kembaliin formulir sama buat ikut tes. ITB punya fasilitas seperti lapangan tennis, kolam renang, lapangan bola hijau maupun yang tanah, kampus gede, dan udaranya enak dibanding Jakarta.

posted by edgar @ 10:45 PM,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home